Lemon8 Video & Photo Downloader

The easiest way to download Lemon8 video & photo without watermark or logo

LeoDownloader Download Photos Kaya Usai Bercerai

Kaya Usai Bercerai

TIP! Right-click and select "Save link as..." to download.

PHOTOS
Kaya Usai Bercerai JPEG Origin Image Download

Baru selesai bicara, Mas Ridwan tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Matanya berkilat marah dan otot di kepala sampai dadanya terlihat menegang.

Duh.

"Siapa kamu berani mecat dia?" kesal Mas Ridwan sambil menunjuk ke arah Pak Pur dan Pak Ben.

Aku membusungkan dada menantang perilakunya semena-mena. Biarlah di hadapan orang lain pun aku berani, tak peduli apa kata mereka.

"Untung jualan bahan bangunan yang nggak seberapa pembelinya itu mana coba? Pikir dong." Emosi naik, aku berbicara sambil menunjuk bagian kepala.

"Itu liat amplop itu yang dipegang Pak Ben sama Pak Pur, itu uang modal. Ngerti nggak? Bentar lagi toko itu tutup. Bangkrut! Dibilang kalo mau apa-apa diskusi dulu sama istri. Bukan pake nafsu. Ya ginilah jadinya kalo egois!"

Toko bangunan kan didirikan supaya bisa menambah pemasukan keluarga. Anak-anak kami sudah semakin besar, maka semakin banyak pula pengeluaran bulanan untuk makan dan pendidikan.

Namun, bukan dengan sewenang-wenang mempekerjakan dua orang tanpa perhitungan modal dan hasil. Namanya usaha, kalau tidak untung ya buntung.

Aku pun sejujurnya tak ingin toko bahan bangunan. Cobalah yang ringan saja seperti warung pempek atau tekwan begitu kan aku bisa mengelola dan mengerjakan sendiri semuanya.

Sedangkan bahan bangunan kan berat. Mas Ridwan bekerja di luar, di toko memang harus ada pegawai. Satu sajalah cukup. Dua membuat bangkrut.

Mas Ridwan terlihat frustasi tak terima dengan kalimatku. Dia berdiri lalu menendang kaki meja tamu di depan kami sambil mengatakan, "pergilah, Pak. Pergi!"

Kemudian masuk lagi ke dalam kamar. Sedangkan Pak Ben dan Pak Pur pamit keluar untuk menuju toko, melaksanakan tugas terakhirnya bekerja dengan kami.

Ketika aku masuk, Mbak Mela dan Mas Ridwan sedang beradu mulut di dalam kamar.

"Eh, Ridwan. Kamu udah talak istrimu. Jangan lagi tinggal di sini, zina namanya. Kalo kamu udah terlanjur zina, jangan tulari ke orang-orang di sekitarmu. Jijik tau nggak?" umpat Mbak Mela berapi-api dengan mengacungkan jarinya ke udara dan tangan kiri berkacak pinggang.

Aku masih mengintip dari dekat pintu, Mas Ridwan tampak duduk di atas ranjang sambil memegangi hand phone nya.

"Siapa kamu ngurusi hidupku. Hah?" tantang lelaki arogan itu.

Aku berlari ke sofa memeluk putra-putri kesayangan. Jika ada keluarga yang berkelahi, aku harus menguatkan jiwa mereka. Jangan sampai ikut rapuh, atau bahkan meniru jejak ayahnya. Na'udzubillah.

"Siapa aku? Aku mbakmu. Perempuan yang bantu orang tua buat ngurusi hidup mu, biayai kuliahmu sampai sarjana. Tapi yang dibiayai nggak punya hati, nggak punya muka. Bikin murka semua keluarga."

Jeda sebentar dan Mbak Mela melanjutkan, "Kerja di sini bilang nggak enak. Kerja di sana bilang toxic. Kerjaan yang sekarang udah enak, kamu selingkuh. Nikah lagi nggak ngomong ke Ibu. Bikin malu kamu itu. Tau nggak? Kamu ngerti nggak kalau kayak gitu tuh bikin hati ibu jadi sakit? Mikir ke sana nggak kamu tuh?"

Usia Ara masih tiga tahun, dia menangis mendengar pertengkaran di dalam rumah. Aku meminta Ahdan agar mengambilkan minum untuknya. Dalam hati berharap, rekaman buruk hari ini semoga lekas terhapus dan hilang dari ingatan anak-anak selama pertumbuhannya.

Aku paham betul jika do'a Ibu selalu mustajab, tak akan pernah tertolak sama sekali. Maka aku meminta kepada Allah, untuk menguatkan pundak dan hati agar tetap tegar dan mampu berdiri kokoh menghadapi setiap tantangan.

"Sekarang kamu punya tiga anak. Salah satunya mau kuliah. Kewajibanmu bayarin kuliahnya sampai tuntas. Belum lagi itu si Ahdan mau SMP, pingin mondok katanya biar nggak kayak ayahnya yang kelewatan. Itu semua masih tanggung jawabmu. Ngerti nggak?"

Mbak Mela masih terus memberondong Mas Ridwan di dalam kamar dan kami masih setia duduk di sofa.

"Bund, ke rumah Mbak Risa aja, yuk. Kasihan Ahdan sama Ara," ajak Rendi lalu berdiri.

Oh iya, kenapa aku tidak berpikir seperti Rendi, sih? Duh, putraku sudah dewasa. Kemudian kami berjalan keluar menuju rumah Mbak Mela. Nah, Risa adalah putri tunggal Mbak Mela yang kuliahnya sudah hampir selesai. Sebentar lagi wisuda.

Maka di sinilah kami ber empat dari siang sampai malam. Makan, mandi, tidur siang, bermain. Semua dilakukan di kediaman Mbak Mela selama di rumah masih ada Mas Ridwan. Bagaimana pun aku harus menjaga marwah sebagai perempuan. Tak lupa ponsel kami bawa serta.

Suami Mbak Mela masih bekerja di kantor dan pulang malam. Biarkan nanti dia saja tidur di rumah sebelah tempat ibu mertua.

***

Di rumah Mbak Mela terdapat satu ruangan khusus untuk shalat.

Desainnya indah dengan ukuran 3x4 meter ditambah kipas membuat nyaman dan betah ada di dalamnya. Di sebelah kanan terdapat foto kakbah, foto beberapa ulama besar Nusantara, dan bingkai 99 asmaul husna.

Maka di sinilah aku sekarang, menunaikan qiyamul Lail, memohon kepada Allah untuk menentramkan pikiran. Mengambil jeda dari sesaknya hiruk pikuk dunia.

Allah adalah tempatku bersandar, bersujud, memohon penuh penghambaan sebagai manusia yang penuh dengan dosa.

Dulu, aku menerima pinangan Mas Ridwan karena latar belakang keluarga yang agamis. Orang tuanya tokoh di kampung, sama dengan kakak pertama, kedua, dan ketiganya. Mereka semua terkenal alim, bahkan ada satu yang hafidz Qur'an.

Namun ternyata benar, keimanan tidaklah diturunkan. Keluarga besar agamis dan harmonis tidak membuat Mas Ridwan berperilaku sama seperti lainnya.

Aku juga sadar, jika seiring berjalannya waktu dan bertambah usia, setiap insan akan berubah secara fisik, juga tabiatnya. Mas Ridwan yang dulu manis, kini egois. Dulu romantis, kini apatis.

Oh Allah, aku milik Mu. Mas Ridwan dan anak-anak ku juga milik Mu. Ampuni kami, ya Rabb...

Ampuni aku yang lupa.

Ampuni aku yang belum ikhlas dalam menghamba.

Ampuni aku yang masih enggan menggapai takwa.

Malam ini aku luruh, bersujud sepasrah mungkin kepada Allah. Melepas, memasrahkan segala beban yang bergelayut di pundak.

Masalahku besar. Tapi aku punya Allah Yang Maha Besar.

Dalam sujud kini semua lepas. Semoga Allah mengampuniku, dan menggenggam anak-anak dalam pertumbuhannya menapaki dunia fana.

Selesai salam, pundakku ditepuk oleh seseorang. Saat membalikkan badan, ternyata Ahdan.

Dia yang pendiam, kini mengikuti ku shalat malam. Ia bersimpuh di hadapanku, mencium pipi, lalu kedua tanganku penuh takzim.

Aku mengusap pundak dan mencium ubun-ubun nya. Tak ada kata yang keluar. Namun kami menangis bersama. Menangisi beban yang tak henti menimpa.

Tiba-tiba aku tersadar, bukan seperti ini yang aku minta.

Aku ingin kuat di hadapan anak-anak. Ingin tampak tegar. Mengapa justru Ahdan menyaksikan ku dalam kondisi paling lemah dan rapuh? Oh Allah...

"Bund... Bunda. Bund tolong, Bund. Ara."

Kaya Usai Cerai

BAB 5

Penulis : ova laela

Baca lengkap di KBM App,. Kakak

Terima kasih